Setiap tradisi merupakan budaya turun temurun
yang mau tidak mau harus dipertahankan oleh setiap generasinya , serta harus
dipegang teguh karena itu salah satu bentuk rasa hormat kita terhadap leluhur
di daerah tempat tradisi itu berkembang.
Melestarikan dan mewariskan suatu tradisi adalah
kewajiban kita sebagai generasi muda yang harus mempertahankannya agar tetap
menjadi budaya dan tidak hilang karena pengaruh globalisasi dan modernisasi.
Seperti halnya di akhir bulan Sya’ban, menjelang
bulan Ramadhan, ada sebuah tradisi yang sampai saat ini masih kerap
dilaksanakan oleh masyarakat. Khususnya di tatar sunda, Jawa Barat. Hampir
setiap daerah, setiap desa, setiap kota tidak melewatkan moment ini. Bahkan
setiap daerah memiliki keunikan dan keanekaragaman masing-masing dalam tradisi
menyambut datangnya bulan Ramadhan.
Tradisi ini dinamakan “Punggahan”. Punggahan ?
Apa itu Punggahan ? Mungkin banyak yang belum tahu tradisi Punggahan itu apa
dan seperti apa. Tapi bagi masyarakat sunda (Jawa Barat) tradisi Punggahan
sudah tidak asing lagi di telinga mereka. Tradisi ini merupakan bentuk rasa
bahagia masyarakat sunda dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Bentuknya
beragam, namun setiap daerah masih memiliki kesamaan.
Di desa dan kota tradisi munggah
(menyambut hari pertama puasa) masih terpelihara. Biasanya pada malam munggah,
anggota keluarga yang merantau pun menyempatkan diri untuk mudik dan berkumpul
bersama sanak keluarga. Munggah bukan sekadar sahur bersama. Di sana
ada silaturahim, berdoa bersama, saling mengingatkan untuk membersihkan diri,
dan ada pula yang mengamalkan sidekah munggah (sedekah pada sehari menjelang
bulan puasa). Kata munggah memang sangat akrab dengan ibadah umat
Islam, seperti juga dapat ditemui pada ibadah munggah haji.
Selain itu, bagi masyarakat Islam Sunda, tradisi
tersebut juga merupakan bentuk rasa hormat mereka dalam menyambut datangnya
bulan Ramadhan. Karena bulan Ramadhan itu penuh berkah dan ampunan. Dimana
ketika bulan Ramadhan Allah menurunkan rahmat dan pahala berlipat untuk setiap
ibadah yang dilakukan manusia pada waktu itu.
Nah dalam kaitannya dengan Ramadhan munggah bisa
berarti kita masuk ke bulan Ramadhan yang memiliki berbagai keutamaan di
banding dengan bulan-bulan lainnya. Pada salah satu malam terakhir sya’ban
dalam rangka menyambut bulan Ramadhan, Rosululloh saw memberikan ‘pembekalan’.
Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Rasulullah bersabda,
“Wahai manusia, sesungguhnya kalian akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa
agung, lagi penuh berkah. Bulan yang di dalamnya ada malam yang lebih baik dari
1000 bulan”.
Selanjutnya Rasulullah bersabda, “Barang siapa
mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu perbuatan kebajikan (sunnah), ia
akan mendapatkan pahala seperti kalau ia melakukan perbuatan wajib pada bulan
lain. Barang siapa melaksanakan suatu kewajiban pada bulan (Ramadhan) itu, ia
akan mendapatkan pahala seperti kalau ia mengerjakan 70 perbuatan wajib pada
bulan yang lain”.
Maka tak heran masyarakat Islam Sunda
menyambutnya dengan rasa hormat dan bahagia. Tradisi ini juga salah satu upaya
untuk membersihkan diri dan mempersiapkan pelaksanaan ibadah selama bulan
Ramadhan nanti.
Berikut penjelasan lebih lanjut dari tradisi Munggahan. 1. Apa itu Punggahan ?
Secara etimologis Punggahan berasal dari kata
unggah yang memiliki arti mancat atau memasuki tempat yang agak tinggi. Kata
unggah dalam kamus Basa Sunda berarti kecap pagawean nincak ti han-dap ka
nu leuwih luhur, naek ka tempat nu leuwih luhur (Danadibrata, 2006:727),
artinya kata kerja beranjak dari bawah ke yang lebih atas, naik ke tempat yang
lebih atas. Di dalam Kamus Umum Bahasa Sunda (1992), munggah berarti hari
pertama puasa pada tanggal satu bulan ramadhan.
Dari sumber lain menurut Abdullah Alawi Punggahan
berasal dari kata unggah yang berarti naik undakan untuk masuk, misalnya ke
rumah atau ke masjid (dulu rumah dan masjid berbentuk panggung). Dalam lidah
orang Sunda kata unggah sering diawali huruf ‘m’ hingga akrab
dilafalkan munggah. Kata ini sering dikaitkan dengan proses ibadah haji
(munggah haji). Dalam ibadah ini terjadi proses naik (bergerak) secara
lahiriyah dan (seharusnya) batiniyah. Secara lahiriyah berarti naik pesawat
terbang atau kapal laut. Sedangkan secara batiniyah adalah berubah dari sifat
yang buruk menjadi lebih baik (mabrur).
Sedangkan “munggah” dalam menghadapi bulan puasa,
yaitu unggah kana bulan nu punjul darajatna, artinya naik ke bulan
yang luhur derajatnya. Dari kata munggah tersebut tersirat perubahan,
baik secara lahiriyah dan (seharusnya) batiniyah. Secara lahiriyah misalnya,
kita harus menahan diri dari rasa haus dan lapar. Jadwal makan berubah dari
biasanya. Tapi seharusnya berubah dalam pemikiran, ibadah, sikap hidup dst.
yang tentunya ke arah yang lebih baik. Seandainya semua itu terlaksana, itulah orang
yang benar-benar menang, (suci, fitri) di hari lebaran.
Seiring dengan perkembangan zaman Punggahan hanya
diartikan sebagai makan-makan atau kumpul-kumpul bersama keluarga atau teman
dalam menyambut bulan ramadhan. Meski tradisi munggahan mulai memudar, walau
belum hilang secara keseluruhan, tapi dengan acara makan bersama tersebut
diharapkan bisa mempererat tali silaturahmi.
2. Bentuk Kegiatan Punggahan
Biasanya Punggahan dilaksanakan satu atau dua
hari menjelang bulan Ramadhan. Masyarakat melaksanakan momentum ini dengan
berbagai macam kegiatan seperti acara makan bersama-sama (botram) dengan
keluarga, sanak saudara, kerabat dekat, dan tetangga di pegunungan, sawah, dan
bukit-bukit. Adapun bentuk kegiatan lain dari tradisi punggahan yaitu ada yang mengunjungi
tempat wisata dengan keluarga ataupun acara resmi keagamaan, dan ada yang
berziarah ke makam wali, kuburan orang tua, syekh dan ulama penyebar Islam di
suatu daerah.
Saling memaafkan di antara sesama kaum Muslim
terutama dengan kerabat, bermaksud untuk membersihkan jiwa dari segala dosa
sesama manusia. Hal itu tercermin pula dalam Alquran sebagai suatu perbuatan
untuk menggapai kebahagian, yaitu yang artinya “Sesungguhnya beruntunglah orang
yang menyucikan jiwa itu” (Quran surah Asyams).
Selain menyucikan jiwa dari dosa dengan sesama
manusia, dengan Yang Maha Kuasa, juga menyucikan fisik yang dianjurkan
dalam agama Islam khususnya. Hal itu dapat terlihat dalam Alquran yang artinya,
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri” (Quran surah Al-baqarah 222).
Intinya sama, yakni untuk mempersiapkan diri
memasuki sasih siyam. Warga yang pergi ziarah, umpamanya,
bermaksud menyucikan diri dan mengingatkan diri pada kematian. Di suatu kampung
ada yang pergi ke sawah untuk botram (makan bersama-sama) bersama
warga sekampung. Tapi, kebiasaan ini sekarang agak sedikit menghilang.
Lagi-lagi globalisasi yang dipersalahkan. Kemudian, bagi orang Sunda yang masih
kental memegang tradisi dari Islam Jawa, akan melakukan prosesi nyadran atau
menggelar malam nifsyu syaban. Ya, tujuannya sama yakni untuk bersiap
diri menghadapi rongkahna (dahsyatnya) gangguan di bulan Ramadhan.
Dalam tradisi “munggah”, biasanya seluruh anggota
keluarga yang berada di luar kota akan berkumpul di tempat orang tuanya yang
umumnya berada di pedesaan. Ini dilakukan untuk menjadi keharmonisan hubungan
keluarga, menikmati saat santap sahur bersama yang sangat jarang dilakukan.
Namun kini akibat pengaruh migrasi, tradisi “munggah” tidak lagi dianggap perlu
dilakukan di kampung, di kota pun bisa. Misalnya dengan mengunjungi tempat
hiburan atau tempat-tempat yang memungkinkan tetap mempertahankan tradisi ini.
Kegiatan “munggah” umumnya dilakukan oleh individu, keluarga, dan kelompok
masyarakat. Yang biasanya menonjol biasanya berupa kegiatan bersuci atau mandi
besar, kemudian tabuhan-tabuhan bedug setelah salat subuh hingga menjelang
malam pertama Ramadhan, dan acara membersihkan makam, serta makan bersama.
Dari sekian kegiatan munggahan, yang menonjol
dari tradisi ini adalah, acara makan bersama yang selalu menjadi pusat
perhatian. Tidak jarang pula, setiap kantor-kantor mengadakan acara Munggahan
ini bersama para karyawannya.
Acara makan ini menjadi sangat menarik, manakala
acara ini di selenggarakan di tempat-tempat tertentu yang menjadi favoritnya.
Seperti di sekitar kebun pinggir sawah, sambil menikmati makanan dan
pemandangan serta alam yang indah dan sejuk.
Menu yang biasa disajikan dalam acara munggahan
ini adalah bakar ikan, dengan pelengkap lalaban, sambal terasi, atau sambal
dadak serta nasi liwet yang panas. Lebih enak lagi kalau nasi liwetnya
disajikan di atas daun pisang. Dengan begitu, rasa kebersamaannya pun lebih
terasa. Itu merupakan sajian yang lezat dan menjadi ciri khas ketika berada di
kampung.
Makan bersama pada waktu munggah rasanya berbeda
dengan hari-hari biasa, lebih spesial. Tentunya masyarakat juga menyiapkan menu
yang lebih mewah dibanding hari-hari biasa untuk makan sahur pertama. Orang
yang kurang mampu banyak juga yang memaksakan untuk membeli lauk yang sedikit
lebih mewah karena mereka menganggap setahun sekali tidak apa-apa makan mewah.
Bahkan ada yang rela untuk berhutang kepada tetangganya. Bisa terlihat
bagaimana antusias masyarakat pada tradisi munggahan ini. Karena itulah tradisi
ini perlu dipelihara, jangan sampai pudar di makan zaman.
3. Bagaimana secara sya’ri ?
Secara sya’ri dalam Islam memang tidak ada
tradisi Munggahan bahkan Rasulullah saw tidak melakukan hal itu. Mungkin hikmah
yang bisa kita ambil adalah saling memaafkan membersihkan diri menyambut bulan
penuh Rahmat bulan Ramadhan .
Meskipun tradisi Munggahan tidak dicontohkan oleh
Rasululloh saw, tapi keberadaan tradisi ini sangat diakui oleh masyarakat.
Khususnya masyarakat di tatar sunda. Tradisi ini sudah menjadi kebiasaan yang
membudaya dikalangan masyarakat dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Hal
ini tidak ada masalah selagi kegiatan munggahan diisi dengan hal-hal yang
positif dan tidak bertentangan dengan agama.
Ini hanya sebuah tradisi, terlepas apakah sesuai
dengan aturan agama atau tidak. Tapi yang jelas Munggahan ini sudah ada sejak
zaman dulu, dan tidak tahu siapa yang memulainya. Dan paling penting kita harus
memelihara tradisi ini agar tetap berkembang dari generasi ke generasi.
4. Manfaat dari Tradisi Munggahan
Tradisi punggahan bukan hanya sebuah kebiasaan
yang sudah menjadi budaya bagi masyarakat sunda. Tradisi punggahan memberikan
banyak manfaat dan makna bagi mereka. Diantaranya mempererat silaturahmi baik
dengan keluarga, teman, sahabat, kerabat, saudara bahkan juga dengan tetangga
kita sendiri. Disamping kita dapat bersilaturahmi, kita juga dapat saling
memaafkan sehingga kita mempunyai hati yang bersih untuk memulai ibadah puasa.
Kita juga bisa memberikan kebutuhan pokok pada warga miskin tanpa
membeda-bedakan untuk digunakan pada hari pertama menjalankan puasa. Selain itu
juga merupakan bentuk rasa syukur kita kepada Allah SWT.
Punggahan kalau direnungkan akan mempererat rasa
kolektif antar manusia hingga dapat mengeluarkan diri dari jurang kemiskinan.
Tradisi munggahan juga secara praksis sosial adalah salah satu aktus atau
habitus yang bakal menaikkan diri kita ke tangga pribadi yang sarat nilai-nilai
kemanusiaan. Oleh karena itu, bulan puasa harus dijadikan bulan untuk meninggalkan
perilaku sombong, pelit, jail, sirik dan fitnah yang merupakan representasi
anomali kemanusiaan dalam diri kita.
Sebetulnya makna dari tradisi punggahan adalah
untuk introspeksi diri dari segala kesalahan yang sudah pernah kita lakukan
sebelumnya, dan semoga sebelum memasuki bulan Ramadhan tersebut, segala
kesalahan kita terutama kepada sahabat, teman dan keluarga dapat diampuni. Yang
pada akhirnya kita memasuki bulan Ramadhan dalam keadaan bersih hati dan bersih
diri.
Nilai-nilai yang terkandung dari silaturahmi ini
sangatlah penting untuk tetap kita pertahankan bahkan kepada anak cucu kita
kelak. Karena seperti di zaman sekarang ini dimana rasa persaudaraan sudah
mulai pudar, maka dengan tradisi punggahan ini di harapkan dapat mempererat
silaturahmi diantara kita sebagai umat manusia yang mengaku keturunan Nabi
Muhammad saw.
Nah, kalau begitu kita akan punggahan di mana?
Pulang ke kampung ataukah akan dirayakan di kota ? Yang jelas, di mana pun
tempatnya, perlu diingat bahwa punggahan mestinya bisa menciptakan empati dan
kolektivisme di tengah-tengah pergaulan sosial. Sebab, munggahan merupakan
tradisi lokal yang berdialektika dengan ajaran Islam untuk menyadarkan manusia
bahwa perilakunya harus bersih dari anasir-anasir yang bisa mengotori jiwa.
Artinya, puasa harus dijadikan medium untuk
mengempati penderitaan orang lain hingga engkau (si miskin) adalah aku (yang
merasakan penderitaan fakir miskin). Itulah inti dari punggahan yakni
mempersiapkan diri untuk ngunggahkeun pribadi ke posisi yang dihiasi rasa
empati dan kolektivisme. Sebab, Tuhan mewajibkan hamba-Nya berpuasa di bulan
Ramadan untuk menyadarkan bahwa kita harus terus merasakan dan menanggulangi
penderitaan sesama.
Dengan demikian, tradisi yang terlihat sederhana
ini harus tetap di jaga dan dilestarikan, khususnya bagi masyarakat di tatar
sunda, Jawa Barat. Karena tradisi ini memiliki banyak manfaat dan makna
tersendiri. Intinya, dengan punggahan kita dapat menyucikan diri dari dosa
lewat silaturahmi dan sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap Allah SWT, serta
menunjukkan rasa bahagia, rasa hormat, dan merupakan antusias kita terhadap
datangnya bulan Ramadhan. Bagi masyarakat Jawa Barat mari kita pegang teguh
tradisi leluhur kita ini.
0 Komentar untuk "Menyambut Bulan Suci Ramadhan dengan Tradisi Punggahan"